son of ryadz diary : August 01, 2014 at 09:27AM

Jakarta - Pekan lalu, Frank Lampard, pesepakbola asal Inggris dari klub Chelsea, London, dibeli New York
City Football Club (NYCFC). Sisi menarik dari
kepindahan Lampard dari London ke New York,
terletak pada perlakuan dan nasib seorang anak
manusia. Nasib Lampard relatif cukup baik. Chelsea, klub
dimana ia menghabiskan waktu yang cukup lama,
tergolong salah satu klub sepakbola terkaya di dunia,
milik Abramovich dari Rusia. Sementara NYCFC,
sebuah klub baru tapi pemiliknya Sheik Mansour,
tergolong salah seorang manusia terkaya di dunia. Lampard mendapat perlakuan yang cukup istimewa
dari Sheik Mansour, pemilik NYCFC yang di negaranya
Uni Emirat Arab (UEA) menduduki posisi Wakil
Perdana Menteri. Lampard sendiri sebetulnya sudah
tergolong pesepakbola berusia senja. Itulah salah
satu alasan, mengapa Chelsea melepasnya. Kendati begitu, Sheik Mansour yang juga pemilik klub
sepakbola di Inggris, Manchester City, tetap melihat
potensi yang masih besar tersimpan dalam diri
Lampard sebagai pesepakbola profesional. Sehingga sekalipun NYCFC baru akan mengikuti
kompetisi di Amerika Serikat pertengahan 2015, tapi
jauh-jauh hari, terhitung Juli 2014 Lampard sudah
direkrutnya. Sekaligus menerima gaji bulanannya. Bagi Sheik Mansour, yang juga sedang membentuk
Melbourne City Football Club (MCFC), Australia,
membayar gaji Lampard Rp1,5 miliar per minggu atau
setara Rp6 miliar per bulan, bukan sebuah beban.
Yang paling penting Lampard dapat menjadi magnit
bagi pesepakbola andal lainnya agar jaringan bisnis sepakbola Sheik Mansour dapat berkembang pesat. Lantas apa relevansi antara Frank Lampard serta
Sheik Mansour dengan krisis Israel-Palestina ? Secara
langsung tidak ada. Tetapi kalau mau dikait-kaitkan,
tetap saja ada. Kaitannya terletak pada soal sikap dan kepedulian
miliarder k aya dari negara Arab seperti Sheik
Mansour. Ia tidak terkesan memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza,
Palestina. Pertarungan membeli pesepakbola yang
bisa memberi keuntungan dan citra positif, lebih penting ketimbang mengurusi masalah korban
perang di jalur Gaza. Walaupun ribuan anak-anak, wanita dan orang sepuh
Arab Palestina sudah tewas dalam satu bulan terakhir
ini akibat serangan militer Israel, Sheik Mansour
sebagai anggota pemerintahan, UEA, tidak terdengar
menyatakan rasa sedih dan pedih. Ia lebih peduli dan tertarik mengeluarkan uang
bermiliar-miliar rupi ah untuk menghidupi para
pesepakbola dari negara-negara Barat. Ia tidak begitu
peduli pada soal krisis ataupun tragedi kemanusiaan
yang dialami bangsa Arab Palestina di jalur Gaza. Liputan berbagai media internasional termasuk media
berbahasa Arab seperti Al Jazeera, begitu intensif
melaporkan tentang tragedi kemanusiaan di Gaza, tak
cukup menggugah kepeduliannya. Teriakan masyarakat global, yang berseru agar
bangsa Arab Palestina dibantu semampunya, cukup
nyaring terdengar. Namun sejauh ini tidak terdengar
adanya respon yang konkrit terutama dari anggota
keluarga Kerajaan Uni Emirat Arab. Da ri segi lokasi, tempat terjadinya tragedi
kemanusiaan jauh lebih dekat dengan Abu Dhabi,
ibukota Uni Emirat Arab. Jarak antara Abu Dhabi
dengan Jalur Gaza hanya sekitar 2.108 kilometer atau
kalau ditempuh dengan penerbangan hanya
memakan waktu sekitar 2 jam 45 menit. Bandingkan jarak Abu Dhabi-London atau Abu Dhabi-New York
yang berlipat-lipat kali. Bagi negara Arab sekaya UEA, membantu restorasi
termasuk keuangan Gaza yang hancur lebur,
seharusnya bukan sebuah persoalan besar. Terutama
jika dilihat dari jumlah uang yang dibelanjakan
kerajaan ini untuk membiayai seluruh pemain, pelatih
dan asisten pelatih yang menangani kegiatan sepakbola di tiga benua: Eropa, Amerika dan
Australia. Dari segi latar belakang budaya, kemanusiaan bahkan
agama, jika UEA membantu korban kekejaman Israel
di Gaza, jauh lebih bermakna - ketimbang Sheik
Mansour harus membayar puluhan miliar rupiah per
tahun kepada seorang pesepakbola yang menjadi
squad kesebelasannya di London. Di jalur Gaza, boleh jadi terdapat korban yang memiliki
nama sama dengan pemilik Manchester City tersebut.
Namun kesamaan nama itu, tidak cukup kuat untuk
membuatnya tergerak. Cukup kontras dengan
perhatian yang diberikannya kepada pesepakbola
seperti pemain tengah-menyerang Manchester City, bernama Jesus Navas! Masih soal seputar uang dan pengeluaran. Untuk
mendatangkan Manuel Pellegrini, pelatih pengganti
Roberto Mancini di 2013, Sheik Mansour dengan
gampangnya menyetujui permintaan pria asal Chili
tersebut untuk dikontrak sebesar 3,5 juta pound
sterling per tahun. Di luar gaji tersebut, manajemen Manchester City
masih menyiagakan dana taktis sebesar 15 juta
pound sterling untuk keperluan operasional. Sehingga
uang bagi keluarga kerajaan UEA, salah satu negara
penghasil minyak d i Timur Tengah itu, bukan sebuah
masalah besar. Betapa besar dampak positif bantuan keluarga Emirat
kepada masyarakat Arab Palestina, jika dalam situasi
seperti sekarang, Abu Dhabi membuka pundi-
pundinya. Tapi itu tadi, dalam krisis ataupun tragedi
kemanusiaan di Gaza, Palestina, negara Arab yang
kaya raya ini, sepertinya tidak terketuk hatinya sama
sekali untuk memberi bantuan. Atau kalaupun
memberi bantuan keuangan, obat-obatan secara
diam-diam, bantuan itu tidak cukup signifikan dibanding yang diberikannya dalam industri
sepakbola. Lalu pertanyaan yang mengemuka, ada apa atau
mengapa? Apakah persatuan dan kesatuan bangsa
Arab memang sudah sedemikian rapuh? Atau
mungkinkah orang kaya, negara kaya - dimanapun
mereka berada, cenderung lebih "pelit" ketimbang
mereka atau negara yang hidupnya hanya pas- pasan? Sebab sejatinya, bukan hanya Lampard yang
mendapat perlakuan istimewa dari keluarga kerajaan
Uni Emirat Arab. Dalam arti mendapat limpahan
bermiliar-miliar rupiah berkat kepiawaiannya
bermain speakbola. Masih ada puluhan bahkan ratusan pesepakbola
ternama lainnya dan berasal dari berbagai negara
yang memperoleh limpahan berkah dari kelu arga
kerajaan UEA. Di antaranya David Villa, bekas
penyerang Atletico Madrid (Sapnyol). Dan biaya yang
dikeluarkan salah satu negara Arab kaya ini untuk urusan sepakbola, benar-benar tak tertandingi atau
tak pernah bisa dibayangkan, bila dilihat dari
perspektif Indonesia. David Villa misalnya bahkan diberi kesempatan oleh
Sheik Mansour untuk "membangun" klub sepakbola
miliknya di Melbourne, Australia. Dari Madrid, Spanyol,
ia diterbangkan ke Melbourne, Australia. Sekalipun bermukim di Melbourne, Kamis 31 Juli 2014,
ketika Manchester City bertanding melawan Liverpool
dalam kejuaraan Internatio nal Cup di New York, David
Villa diharuskan terbang dari Melbourne ke New York.
Jarak yang begitu jauh antara Melbourne - New York,
tidak menjadi hambatan. Sebab dalam hal ini, duitlah yang berbicara atau "money talks". Tujuannya hanya satu. David Villa harus menjadi salah
satu ikon yang mempromosikan betapa sehatnya
jaringan bisnis sepakbola milik keluarga kerajaan UEA
yang berada di benua berbeda. Selain menangani
bisnis sepakbola di London, New York dan Melbourne,
keluarga Sheik Mansour juga menekuni bisnis olahraga di Tokyo. Bisnis sepakbola ataupun olahraga, memang sedang
diminati para pemodal raksasa. Selain
menguntungkan, keberhasilan di bisnis sepakbola
bisa melejitkan nama baik. Sangat berbeda dengan
"bisnis perang" ataupun "bisnis persenjataan"
tentunya. Di luar Sheik Mansour, keluarga kerajaan dari Uni
Emirat Arab yang berbisnis dalam industri sepakbola
juga ada Sheik Maktoum dari Dubai yang lebih dikenal
dengan bendera perusahaannya, The Emirates Group. Kelompok usaha ini merupakan pemilik Emirates
Stadium, stadion megah yang menjadi markas klub
asal London, Arsenal. Di Prancis, kelompok usaha
Emirates, juga menjadi sponsor utama dari klub Paris
Saint Germain (PSG), j uara Liga Prancis 2013 yang
bermarkas di Kota Paris.



Link: http://adf.ly/qlhdF Arab Kaya, Tapi Lebih Peduli Sepakbola

IFTTT

Put the internet to work for you.

Turn off or edit this Recipe

0 komentar:

Posting Komentar