Oleh Banyu Bening
Gusti Allah Ngunduh Mantu, Matine Gusti Allah, Malaikat Kawin, Kawinne Malaikat Jibril, adalah beberapa judul-judul lakon yang dimainkan oleh kelompok-kelompok ludruk Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) di tahun 1965 menuju penghujung tahun. Lakon-lakon yang sesungguhnya hanyalah sebuah sindiran bagi para tuan-tuan tanah yang didominasi para kyai merangkap priyai yang selalu bersembunyi di balik agama dan Tuhan, namun dalam waktu yang sama tetap mewarisi keliatan lintah darat para feodal. Malahan di lakon Matine Gusti Allah, bukanlah sebuah sindiran karena ternyata lakon itu dimainkan untuk memperingati Hari Raya Paskah. Sungguh seniman-seniman yang sangat pandai dalam membaca minat penonton. Namun dari kreatifitas tersebut malah menjadi boomerang karena hal tersebut dijadikan Orba sebagai senjata untuk mencap bahwa PKI adalah anti Tuhan.
Dalam lakon-lakon provokatif tersebut, ternyata dalam isi pementasannya tidak ada yang seekstrem judulnya. Banyak dikisahkan dalam kidung-kidung dan parikan berkisahkan tentang: penderitaan rakyat, kemiskinan, kegetiran, kekecewaan, nasib buruh tani, juga soal perlawanan rakyat melalui land reform. Selain itu di tiap pentasnya, lagu Genjer Genjer adalah merupakan lagu wajib pembuka. Lagu yang menceritakan kemiskinan dan kesusahan rakyat ini, mampu menyedot penonton yang banyak. Maka di tangan Lekra, lakon-lakon mistis yang biasa dimainkan group-group ludruk berubah menjadi lakon-lakon yang dekat dengan rakyat, sarana perjuangan yang progresif.
Aidit gagal mem-PKI-kan Lekra, tapi justru Soeharto berhasil mewujudkannya (Lekra dan Geger 1965-Seri Buku Tempo 2014). Njoto merupkan penjaga garis Lekra agar tidak diubah menjadi merah oleh Aidit. Karena tidak semua seniman Lekra berideologi Komunis karena sudah jelas abang ijonya. Namun akhirnya sejak pecah tragedi berdarah di akhir 1965, apa gunanya lagi ijoan atau abangan? ijo masuk bui, abang juga mati.
Dari sini, setidaknya kita sudah mengetahui akar senjata paling mendasar atas stigma komunis anti Tuhan, lagu genjer genjer yang "menyeramkan" sejak Orba bahkan hingga kini karena terhembus kabar lagu itu dimetamorfosiskan menjadi Genjot Jendral oleh Gerwani. Dan stigma-stigma dari sektor seni inilah sesungguhnya menjadi ladang fitnah paling subur sepanjang hampir lima puluh tahun sejak peristiwa berdarah G 30 S tersebut.
Jadi menurut saya, seni dipakai untuk membengkak-bengkokkan sejarah, menjadi pangkal sabetan senjata pembantaian jutaan rakyat yang belum tentu bersalah, penangkapan orang-orang yang juga belum tentu bersalah, meninggalkan luka di hati keturunannya. Maka semoga melalui bantuan seni pulalah sejarah akan kembali diluruskan.
Salam damai
Damai di langit, Damai di bumi ~BB
Put the internet to work for you.
0 komentar:
Posting Komentar